16 Jul 2014
Disitir dar http://tembi.net/bale-karya-pertunjukan-seni/penyair-pesantren-tampil-dalam-sastra-bulan-purnama-tembi
i,
Disitir dar http://tembi.net/bale-karya-pertunjukan-seni/penyair-pesantren-tampil-dalam-sastra-bulan-purnama-tembi
i,
Para penyair muda pondok
pesantren ini tidak hanya membaca puisi, tetapi yang menarik mereka menggarap
puisi dengan musik terbangan, yang mereka sebut sebagai ‘Hadrahisasi Puisi’. Sambil
duduk lesehan di atas lantai, laki-perempuan penyair dari pondok pesantren di
Purwokerto ini mengolah puisi menjadi tembang religi.
Pada edisi ke-34 Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan di Tembi
Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta, Jumat malam 11 Juli 2014 di ruang Museum,
menampilkan penyair pondok pesantren dari Purwokerto, yang tergabung dalam
Komunitas Pondok Pena.
Para penyair yang semuanya masih muda belia, yang rata-rata lahir
tahun 1990-an, membuat antologi bersama yang diberi judul ‘Mushaf Rindu’ dan
di-launching dalam Sastra Bulan Purnama yang menghadirkan tajuk ‘Ramadan Dalam
Puisi’. Karena Sastra Bulan Purnama edisi ke-34 ini masih dalam suasana puasa
sehingga tajuk yang dihadirkan menjadi pas dengan suasana.
Para penyair muda pondok pesantren ini tidak hanya membaca puisi,
tetapi yang menarik mereka menggarap puisi dengan musik terbangan, yang mereka
sebut sebagai ‘Hadrah Puisi’. Sambil duduk lesehan di atas lantai,
laki-perempuan penyair dari pondok pesantren di Purwokerto ini mengolah puisi
menjadi tembang religi.
Mungkin karena suasana Ramadan dan juga hujan turun, sehingga
Sastra Bulan Purnama edisi ke-34 tidak dihadiri banyak pengunjung seperti
biasanya. Hanya ada beberapa puluh pengunjung. Namun demikian, para penyair
muda tidak kehilangan semangat. Mereka dengan sungguh-sungguh menabuh terbangan
sambil mengalunkan lagu-lagu puisi.
Dari Hadrah Puisi, kita bisa melihat bahwa sastra dengan musik
religi bisa sinergi dan saling memaknai. Musik hadrah mewarnai karya sastra
dalam hal ini puisi sekaligus menghidupkan puisi. Selain itu, para santri
terlihat menikmati dalam pertunjukan yang mereka siapkan.
Selain hadrah puisi, para penyair muda pesantren membacakan puisi
karyanya yang diterbitkan dalam antologi puisi berjudul ‘Mashaf Rindu’. Eka
Safitri, salah seorang penyair perempuan dari Komunitas Pondok Pena, yang
puisinya ada dalam antologi, membacakan puisinya dengan penuh ekspresif.
Mengenakan baju warna hitam, yang dipadu dengan jilbab warna krem,
dengan gerak tangan dan ekspresi wajah, menunjukan Eka Safitri menghayati puisi
yang dibacakan. Suaranya tidak menghentak, lembut dan enak di dengar, bahkan
seolah seperti ‘menghidupkan’ kata-kata dalam puisi.
Penyair lain yang tampil. Dimas Indianto, yang telah melakukan
banyak pembacaan puisi di sejumlah tempat dan puisinya dimuat dalam sejumlah
antologi puisi, termasuk antologi terbaru berjudul ‘Negeri Langit’ merupakan
antologi puisi yang menyajikan puisi 153 penyair Indonesia. Empat puisi karya
Dimas, demikian panggilannya, ada dalam antologi ini.
Mengenakan kemeja dan kain panjang warna hitam, dan kaos warna
putih, sehingga terlihat kontras, Dimas membacakan puisi dengan penuh
ekspresif. Suaranya lantang, terkadang wajahnya menengadah, atau matanya
terpejam. Tangannya digerakan ke atas, atau ke samping, Dimas seolah seperti
menyadari bahwa dirinya sedang melakukan pentas.
Mungkin Dimas, karena sudah berulangkali membaca puisi, termasuk
pernah membaca puisi di Sastra Bulan Purnama pada tahun lalu, membuatnya
memiliki kesadaran akan panggung. Selain Dimas dan Eka Safitri, para penampil
lain, juga memiliki kemampuan membaca puisi yang cukup bagus. Rupanya, para
santri dari Pasentren Mahasiswa (Pesma) An-Najah, Purwokerto, selain mempunyai
ketrampilan menulis puisi, juga memliki kemampuan untuk berpentas. Sehingga
dengan santai dan menyenangkan membuat Sastra Bulan Purnama penuh religi.
Berikut ini salah satu puisi karya Eka Safitri yang terkumpul
dalam antologi puisi ‘Mashaf Rindu’ berjudul ‘Kipas Dunia’:
Kipas Dunia
Kau beri aku kehidupan.
Dari tumbuh-tumbuhan
kau berasal. Waktu pagi, kau beterbangan
menghampiriku di Taman Bunga
kau berasal. Waktu pagi, kau beterbangan
menghampiriku di Taman Bunga
Aku hanya senyum. Hanya
saja sedikit mengangkat
dagu. Ku langkahkan kakiku ke tempat
bunga- bunga kembang Dan. Kudapati kau yang wangi
bersama bunga yang kembang dan mewangi.
dagu. Ku langkahkan kakiku ke tempat
bunga- bunga kembang Dan. Kudapati kau yang wangi
bersama bunga yang kembang dan mewangi.
Kuberhenti, menunggui
capung yang hendak hinggap
di tangkai. Ku kejar dengan aroma melati. Kudapati
kau bersama melati.
di tangkai. Ku kejar dengan aroma melati. Kudapati
kau bersama melati.
Disetiap ruang kau kudapati
dengan beragam rasa.
kau berikan aku nikmatnya dunia.
kau berikan aku nikmatnya dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar