Jumat, 16 Oktober 2015

Sastra Bulan Purnama edisi 34 "sesionnya Pondok Pena pentas Hadrahisasi Puisi" di Rumah Budaya Tembi Yogyakarta



16 Jul 2014
Disitir dar http://tembi.net/bale-karya-pertunjukan-seni/penyair-pesantren-tampil-dalam-sastra-bulan-purnama-tembi
i,
Para penyair muda pondok pesantren ini tidak hanya membaca puisi, tetapi yang menarik mereka menggarap puisi dengan musik terbangan, yang mereka sebut sebagai ‘Hadrahisasi Puisi’. Sambil duduk lesehan di atas lantai, laki-perempuan penyair dari pondok pesantren di Purwokerto ini mengolah puisi menjadi tembang religi.

Hadrah Puisi
Pada edisi ke-34 Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan di Tembi Rumah Budaya, Bantul, Yogyakarta, Jumat malam 11 Juli 2014 di ruang Museum, menampilkan penyair pondok pesantren dari Purwokerto, yang tergabung dalam Komunitas Pondok Pena.
Para penyair yang semuanya masih muda belia, yang rata-rata lahir tahun 1990-an, membuat antologi bersama yang diberi judul ‘Mushaf Rindu’ dan di-launching dalam Sastra Bulan Purnama yang menghadirkan tajuk ‘Ramadan Dalam Puisi’. Karena Sastra Bulan Purnama edisi ke-34 ini masih dalam suasana puasa sehingga tajuk yang dihadirkan menjadi pas dengan suasana.
Para penyair muda pondok pesantren ini tidak hanya membaca puisi, tetapi yang menarik mereka menggarap puisi dengan musik terbangan, yang mereka sebut sebagai ‘Hadrah Puisi’. Sambil duduk lesehan di atas lantai, laki-perempuan penyair dari pondok pesantren di Purwokerto ini mengolah puisi menjadi tembang religi.
Mungkin karena suasana Ramadan dan juga hujan turun, sehingga Sastra Bulan Purnama edisi ke-34 tidak dihadiri banyak pengunjung seperti biasanya. Hanya ada beberapa puluh pengunjung. Namun demikian, para penyair muda tidak kehilangan semangat. Mereka dengan sungguh-sungguh menabuh terbangan sambil mengalunkan lagu-lagu puisi.

Eka Safitri
Dari Hadrah Puisi, kita bisa melihat bahwa sastra dengan musik religi bisa sinergi dan saling memaknai. Musik hadrah mewarnai karya sastra dalam hal ini puisi sekaligus menghidupkan puisi. Selain itu, para santri terlihat menikmati dalam pertunjukan yang mereka siapkan.
Selain hadrah puisi, para penyair muda pesantren membacakan puisi karyanya yang diterbitkan dalam antologi puisi berjudul ‘Mashaf Rindu’. Eka Safitri, salah seorang penyair perempuan dari Komunitas Pondok Pena, yang puisinya ada dalam antologi, membacakan puisinya dengan penuh ekspresif.
Mengenakan baju warna hitam, yang dipadu dengan jilbab warna krem, dengan gerak tangan dan ekspresi wajah, menunjukan Eka Safitri menghayati puisi yang dibacakan. Suaranya tidak menghentak, lembut dan enak di dengar, bahkan seolah seperti ‘menghidupkan’ kata-kata dalam puisi.
Penyair lain yang tampil. Dimas Indianto, yang telah melakukan banyak pembacaan puisi di sejumlah tempat dan puisinya dimuat dalam sejumlah antologi puisi, termasuk antologi terbaru berjudul ‘Negeri Langit’ merupakan antologi puisi yang menyajikan puisi 153 penyair Indonesia. Empat puisi karya Dimas, demikian panggilannya, ada dalam antologi ini.
Mengenakan kemeja dan kain panjang warna hitam, dan kaos warna putih, sehingga terlihat kontras, Dimas membacakan puisi dengan penuh ekspresif. Suaranya lantang, terkadang wajahnya menengadah, atau matanya terpejam. Tangannya digerakan ke atas, atau ke samping, Dimas seolah seperti menyadari bahwa dirinya sedang melakukan pentas.
Mungkin Dimas, karena sudah berulangkali membaca puisi, termasuk pernah membaca puisi di Sastra Bulan Purnama pada tahun lalu, membuatnya memiliki kesadaran akan panggung. Selain Dimas dan Eka Safitri, para penampil lain, juga memiliki kemampuan membaca puisi yang cukup bagus. Rupanya, para santri dari Pasentren Mahasiswa (Pesma) An-Najah, Purwokerto, selain mempunyai ketrampilan menulis puisi, juga memliki kemampuan untuk berpentas. Sehingga dengan santai dan menyenangkan membuat Sastra Bulan Purnama penuh religi.

Dimas Indianto
Berikut ini salah satu puisi karya Eka Safitri yang terkumpul dalam antologi puisi ‘Mashaf Rindu’ berjudul ‘Kipas Dunia’:
Kipas Dunia
Kau beri aku kehidupan. Dari tumbuh-tumbuhan
kau berasal. Waktu pagi, kau beterbangan
menghampiriku di Taman Bunga
Aku hanya senyum. Hanya saja sedikit mengangkat
dagu. Ku langkahkan kakiku ke tempat
bunga- bunga kembang Dan. Kudapati kau yang wangi
bersama bunga yang kembang dan mewangi.
Kuberhenti, menunggui capung yang hendak hinggap
di tangkai. Ku kejar dengan aroma melati. Kudapati
kau bersama melati.
Disetiap ruang kau kudapati dengan beragam rasa.
kau berikan aku nikmatnya dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar