Kamis, 09 Juli 2015

Pondok Pena

Dari Santri untuk Dunia”

Pesantren, santri dan sastra, pada dasarnya kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Betapa tidak, sastra itu sendiri berasal dari kata sastri, yaitu istilah yang berarti mempelajari ilmu agama, atau dengan kata lain, antaa sastra(wan) dan santri(wan) adalah sasma-sama berkedudukan sebagai salik, orang yang dalam perjalananmencari kebenaran. Pesntren itu sendiri sudah banyak bersinggungan dengan sastra, dari kitab-kitab yang dikaji di pesantren, misalnya sangat jelas dimensi kesusastraannya. Kita mengenal nadhom (nyanyian atau suluk) yang diajarkan di pesantren, bahkan menjadi seperti hidangan wajib manakala santri memelajari kitab dengan jalan menyanyikan (untuk hafalan). Di situlah dimensi sastra di pesantren sudah sangat terasa.
Keberadaan sastra di pesantren sangatlah strategis, sebab darinya (sastra) para santri diajarkan bagaimana mengenal dunia di luar dirinya., mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang peka terhadap lingkungan, juga bagaimana mengahluskan budi sebagaimana telah dipelajari di dalam kajian kitab.
Namun agaknya tidak semua santri tertarik mendalami dunia sastra, ini cukup memprihatinkan, kita bisa melihat para pelaku sastra (baca: sastrawan) yang meramaikan jagad kesusastraan Indonesia hanya segelintir saja yang berlatarbelakang pesantren, kita mengenal Gus Mus, Acep Zamzam Noor, D. Zawawi Imron, KH. Zaenal Arifin Toha, untuk menyebut beberapa nama yang meramaikan kesusastraan Indonesia, lalu bagaimana dengan kesusastraan  Purwokerto? Kita hanya mengenal kyai Mas’ut dari Sokaraja. Dari sekian nama yang tersebut itu, sudah masuk angkatan sastrawan tua, lalu bagaimana dengan yang muda?

Kelahiran Pondok Pena
Pada Oktober 2011, kami (Dimas dan beberapa teman yang lain (saya dan beberapa teman) mengalami puncak ketidakpuasn atas ketidakadanya sastrawan santri muda di Purwokerto, maka dengan bismillah kami mendirikan sebuah komunitas kecil bernama Pondok Pena, komunitas yang kami mimpikan akan menjadi tonggak kebangkitan sastra santri di Purwokerto pada khususya dan Indonesia pada umumnya. Berawal dari sekitar 5 anggota, kami mulai belajar untuk berdiskusi membahas karya, minggu demi minggu kami lewati dengan sangat berat, karena rasa malas dan pesimis senantiasa menggoda. Namun, berkat istiqomah, beberapa dari kami mulai menyatu dengn sastra: karya-karya kami meramaikan beberapa media, baik regional, local, maupun nasional[1]. Pun dengan buku-buku antologi bersama. Akhirnya nama kami turut meramaikan kesusastraan Indonesia sekalipun masih dalam skala sederhana, tetapi itu sudah merupakan karunia yang luar biasa, tetapi itu sudah merupakan karunia yang luar biasa.

Tradisi Membaca dan Menulis
Pada intinya Pondok Pena ingin mengajak para santri untuk gemar membaca dan menulis. Sebab reading and writing habit adalah satu keniscayaan bagi siapa saja yang ingin memiliki ilmu yang bermanfaat. Betapa tidak, dari mana kita mendapatkan ilmu kalau tidak suka membaca? Memang membaca adalah aktivitas yang menjenuhkan, tetapi darinya kita bisa membaca dunia. Lalu, jika kita telah membaca, dikemanakan hasil bacaan kita? Kalau bukan dengan mengikatnya dengan tulisan? Selain terhadap diri untuk mengukur keberadaan diri di tengah lapangannya ilmu Allah SWT.
Pramodya Ananta Toer, pernah mengatakan bahwa orang boleh pintar setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, maka akan hilang dari masyarakat dan dari peradaban. Menarik, disinilah Pondok Pena ingin mengajak para santri untuk turut meramaikan peradaban dengan kegiatan menulis, sesederhana apapun, karena sesuatu yang besar berawal dari hal-hal yang kecil. Santri yang selama ini tidak diperhitungkan dalam jagad kesusastraan Indonesia bahkan dunia, akan bangkit dan membuktikan dirinya adalah bagian dari orang-orang yang pantas dicatat oleh sejarah.
Dimas Indianto S.
(Pendiri Pondok Pena)




                [1] Pada tahun 2014 Pondok Pena telah mengibarkan benderanya di event Internasioanal  (Baca :Lentera Sastra Jilid 2).