Pesantren, santri dan sastra, pada dasarnya kesatuan yang tak bisa
dipisahkan. Betapa tidak, sastra itu sendiri berasal dari kata sastri, yaitu
istilah yang berarti mempelajari ilmu agama, atau dengan kata lain, antaa
sastra(wan) dan santri(wan) adalah sasma-sama berkedudukan sebagai salik, orang
yang dalam perjalananmencari kebenaran. Pesntren itu sendiri sudah banyak
bersinggungan dengan sastra, dari kitab-kitab yang dikaji di pesantren,
misalnya sangat jelas dimensi kesusastraannya. Kita mengenal nadhom (nyanyian
atau suluk) yang diajarkan di pesantren, bahkan menjadi seperti hidangan wajib
manakala santri memelajari kitab dengan jalan menyanyikan (untuk hafalan). Di
situlah dimensi sastra di pesantren sudah sangat terasa.
Keberadaan sastra di pesantren sangatlah strategis, sebab darinya
(sastra) para santri diajarkan bagaimana mengenal dunia di luar dirinya.,
mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang peka terhadap lingkungan, juga
bagaimana mengahluskan budi sebagaimana telah dipelajari di dalam kajian kitab.
Namun agaknya tidak semua santri tertarik mendalami dunia sastra,
ini cukup memprihatinkan, kita bisa melihat para pelaku sastra (baca:
sastrawan) yang meramaikan jagad kesusastraan Indonesia hanya segelintir saja
yang berlatarbelakang pesantren, kita mengenal Gus Mus, Acep Zamzam Noor, D.
Zawawi Imron, KH. Zaenal Arifin Toha, untuk menyebut beberapa nama yang
meramaikan kesusastraan Indonesia, lalu bagaimana dengan kesusastraan Purwokerto? Kita hanya mengenal kyai Mas’ut
dari Sokaraja. Dari sekian nama yang tersebut itu, sudah masuk angkatan
sastrawan tua, lalu bagaimana dengan yang muda?
Pada Oktober 2011, kami (Dimas dan beberapa teman yang lain (saya
dan beberapa teman) mengalami puncak ketidakpuasn atas ketidakadanya sastrawan
santri muda di Purwokerto, maka dengan bismillah kami mendirikan sebuah komunitas
kecil bernama Pondok Pena, komunitas yang kami mimpikan akan menjadi tonggak
kebangkitan sastra santri di Purwokerto pada khususya dan Indonesia pada
umumnya. Berawal dari sekitar 5 anggota, kami mulai belajar untuk berdiskusi
membahas karya, minggu demi minggu kami lewati dengan sangat berat, karena rasa
malas dan pesimis senantiasa menggoda. Namun, berkat istiqomah, beberapa
dari kami mulai menyatu dengn sastra: karya-karya kami meramaikan beberapa
media, baik regional, local, maupun nasional[1]. Pun
dengan buku-buku antologi bersama. Akhirnya nama kami turut meramaikan
kesusastraan Indonesia sekalipun masih dalam skala sederhana, tetapi itu sudah
merupakan karunia yang luar biasa, tetapi itu sudah merupakan karunia yang luar
biasa.
Tradisi Membaca dan Menulis
Pada intinya Pondok Pena ingin mengajak para santri untuk gemar
membaca dan menulis. Sebab reading and writing habit adalah satu
keniscayaan bagi siapa saja yang ingin memiliki ilmu yang bermanfaat. Betapa
tidak, dari mana kita mendapatkan ilmu kalau tidak suka membaca? Memang membaca
adalah aktivitas yang menjenuhkan, tetapi darinya kita bisa membaca dunia.
Lalu, jika kita telah membaca, dikemanakan hasil bacaan kita? Kalau bukan
dengan mengikatnya dengan tulisan? Selain terhadap diri untuk mengukur
keberadaan diri di tengah lapangannya ilmu Allah SWT.
Pramodya Ananta Toer, pernah mengatakan bahwa orang boleh pintar
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, maka akan hilang dari masyarakat
dan dari peradaban. Menarik, disinilah Pondok Pena ingin mengajak para santri
untuk turut meramaikan peradaban dengan kegiatan menulis, sesederhana apapun,
karena sesuatu yang besar berawal dari hal-hal yang kecil. Santri yang selama
ini tidak diperhitungkan dalam jagad kesusastraan Indonesia bahkan dunia, akan
bangkit dan membuktikan dirinya adalah bagian dari orang-orang yang pantas
dicatat oleh sejarah.
Dimas Indianto S.
(Pendiri Pondok Pena)