Puisi Heru Mulyadi Suara Merdeka 03 April 2016
Malam Bercerita Tentang Jarak
Saat senja di ujung hayat
Matahari sirna di ujung mata bulan
Lampu rindu dinyalakan
Cahanya pendar ke sekujur tubuh
Tali selalu bisa mengikat, tapi tembok tetap sekat
Malam makin pekat, udara menipis
Baumu masih ngambang
Datanglah ke kamarku
Kau yang selalu berhasil membunuh
Burung di dinding, seolah menghentikan
Paruhnya yang berputar di dua belas titik
Sendiri, aku seperti diteror burung itu
Aku khawatir dia balas dendam padaku
Sebagaimana ia balas dendam padamu
Membawamu terbang dari jemariku
Jika aku dibawa juga
Mungkin kita tak satu sarang
29-03-2016
Sungai Kehidupan
Aku tafakur di atas kano
Entah...
Di lembah mana aku akan digulingkan
Di bukit mana aku akan dipinggirkan
Di hati mana aku akan dilabuhkan
Aku hanya yakin pada kano ini
Kularutkan hati bersama arus sungai
Bertabah dengan batu dan air terjun
Atau buaya muara yang menerkam lajuku
Sungai panjang bukanlah tanpa ujung
Aku akan sampai ke Laut, tenang
Tak ada lagi yang kuhajat dalam hening
29-03-2016
Mansuia Tanah
Angin kami tiup dari segala penjuru
Mendinginkan ruang kecil yang konon merah mebara
Adik tidak berhenti berdetik nama
Cinta yang tidak rupa tembus dari hati ke hati
Tapi apa cinta menembus tanah?
Tanah tidak punya hati
Dan penghuni tanah semua bisu
Adik masih memanggil sebuah nama
Yang kita tidak bisa bahkan, mengucapkannya terbata
Nama itu berharap hujan turun dari masa lalu
Karena tanah tidak mengijinkan
Harapan dan sesal keluar dari rahimnya
Kami hanya bisa menyebut nama itu
Di belakang nama Tuhan dan Rasul-Nya
Semoga hujan yang turun cukup dingin
Mengantarnya tidur nyenyak
29-03-2016
Memanjat Tebing Hidup
Kau hidup bergelantung di tebing
Jurang adalah tempat mukim maut yang kalut
Sesekali bergoyang ditepis angin membisik dada
Meski pegal sungguh, letih melirih
Tebing tetaplah tebing
Panjatkan doa-doamu pada tali
Karena puncak tidak di bawah kakimu
Teruslah memanjat sampai tuju maut sumringah
28-03-2016
Garis Silang
Aku air jatuh yang seketika beku
Dingin menepis udara dan hawa
Tidak mempan intervensi atau dinginku sendiri
Telingaku membatu dari gaung
Kau mengkabut jelas di mataku
tidak basah dan tidak dingin, tapi ada
Kita tidak pernah menggambar titik, garis lengkung yang sama
Nama penulis adalah Heru Mulyadi. Lahir pada tanggal 26 Juli 1995 di Lhokseumawe Aceh. Sekarang tengah belajar di IAIN Purwokerto dan aktif di Komunitas Pondok Pena Pesantren Mahasiswa An Najah. E -mail:herumly7@gmail.com, no hp: 085727749770. Berdomisili di Desa Situwangi RT07 RW02, Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara.